Senin, 11 Maret 2013

    
PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 
NOMOR  3  TAHUN 2009 
TENTANG  
 ORGANISASI  DAN TATA KERJA  BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR  
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR,  
Menimbang : a. bahwa  dalam rangka memberikan perlindungan dan pemenuhan hak dasar yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat termasuk perlindungan atas bencana, dan penyelenggaraannya dilaksanakan secara terencana, terpadu, menyeluruh, terkoordinasi dengan melibatkan semua potensi di daerah, perlu dikelola oleh suatu institusi yang kapabel karena memiliki struktur dan mekanisme kerja yang didukung dengan tugas dan fungsi yang jelas dan terarah;  
b. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah, pembentukannya ditetapkan dengan Peraturan Daerah;  
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur;  
 
2
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara  Republik Indonesia Nomor 1649); 
  2. Undang-Undang Nomor  8 Tahun 1974 tentang Pokok- pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan  Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok- pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890); 
  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 
  4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 
  5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);    
 

 6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 
  7. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723); 
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005  Nomor  65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741); 
  11. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4830); 
  12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah;    
  13. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah;
 
4
  14. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 7 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Provinsi Nusa Tenggara Timur (Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2008 Nomor 007 Seri E Nomor 005, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 0016); 
  15. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 16 Tahun 2008 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2008 Nomor 016 Seri E Nomor 008, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 0024); 
                             Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR dan GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR   
MEMUTUSKAN :                                        
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI  NUSA TENGGARA TIMUR. 
BAB  I  KETENTUAN UMUM  
Pasal 1  
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan :                  1.  Daerah adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2.  Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 3.  Gubernur adalah Gubernur Nusa Tenggara Timur.  4.  Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur.     
 
5
5. Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang selanjutnya disingkat BPBD adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 6. Kepala Badan adalah Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 7. Kelompok Jabatan Fungsional adalah sejumlah tenaga dalam jabatan fungsional pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur.  
BAB II PEMBENTUKAN 
Pasal 2 
Dengan Peraturan Daerah ini, dibentuk Organisasi dan Tata Kerja BPBD Provinsi Nusa Tenggara Timur.  
BAB  III           KEDUDUKAN, TUGAS POKOK DAN FUNGSI 
Pasal 3  
BPBD merupakan unsur pendukung Pemerintah Daerah yang dipimpin seorang Kepala Badan yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur. 
Pasal 4  
BPBD mempunyai tugas : a. menetapkan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara sesuai kebijakan pemerintah daerah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana; b. menyusun standarisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan; c. menyusun, menetapkan, dan menginventarisasikan peta rawan bencana; d. menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana; e. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah setiap bulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana;  
 
6
f. mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang; g. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBD; dan h. melaksanakan kewajiban lainnya sesuai dengan peraturan perundang- undangan.  
Pasal 5  
Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, BPBD menyelenggarakan  fungsi : a. perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien; b. pengkoordinasian pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh;  
BAB  IV ORGANISASI 
Pasal 6  
(1) Susunan Organisasi BPBD terdiri dari : a. Kepala; b. Unsur Pengarah; dan c. Unsur Pelaksana. 
(2) Unsur Pelaksana BPBD Provinsi berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Kepala BPBD. 
(3) Unsur Pelaksana BPBD Provinsi dipimpin Kepala Pelaksana yang membantu Kepala BPBD Provinsi dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi unsur pelaksana BPBD Provinsi sehari-hari. 
Pasal 7 
Unsur Pelaksana BPBD Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 mempunyai tugas melaksanakan penanggulangan bencana secara terintegrasi meliputi : a. pra bencana; b. saat tanggap darurat; dan c. pasca bencana. 
Pasal 8 
Unsur Pelaksana BPBD menyelenggarakan fungsi :
 
7
a. pengkoordinasian; b. pengkomandoan; dan c. pelaksana. 
Pasal  9 
Fungsi koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 merupakan fungsi koordinasi Unsur Pelaksana BPBD dilaksanakan melalui koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah lainnya di daerah, instansi vertikal yang ada di daerah, lembaga usaha, dan/atau pihak lain yang diperlukan pada tahap pra bencana dan pasca bencana. 
Pasal  10 
Fungsi komando sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 merupakan fungsi komando Unsur Pelaksana BPBD dilaksanakan melalui pengerahan sumber daya manusia, peralatan, logistik satuan kerja perangkat daerah lainnya di daerah, instansi vertikal yang ada di daerah, serta langkah- langkah lain yang diperlukan dalam rangka penanganan darurat bencana. 
Pasal 11 
Fungsi Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 merupakan fungsi Pelaksana BPBD dilaksanakan secara terkoordinasi dan terintegrasi dengan satuan kerja perangkat daerah lainnya di daerah, instansi vertikal yang ada di daerah, dengan memperhatikan kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
Pasal 12 
(1) Susunan Organisasi Unsur Pelaksana BPBD Provinsi terdiri dari :  a. Kepala Pelaksana;  b. Sekretariat, terdiri atas :    1. Sub Bagian Program, Data dan Evaluasi;    2. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian;    3. Sub Bagian Keuangan.  c. Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, terdiri atas :    1. Seksi Pencegahan;    2. Seksi Kesiapsiagaan.   
d.  Bidang Kedaruratan dan Logistik, terdiri atas :   1. Seksi Kedaruratan;   2. Seksi Logistik. e. Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi, terdiri atas :
 
8
  1. Seksi Rehabilitasi;   2. Seksi Rekonstruksi. f. Kelompok Jabatan Fungsional. 
(2) Penjabaran tugas pokok dan fungsi masing-masing susunan organisasi ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. 
(3) Bagan Struktur Organisasi BPBD sebagaimana tercantum dalam lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. 
Pasal 13 
(1) Sekretariat dan Bidang masing-masing dipimpin oleh seorang Sekretaris dan Kepala Bidang yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Pelaksana. 
(2) Sub Bagian dan Seksi dipimpin oleh seorang Kepala Sub Bagian dan Kepala Seksi yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Sekretaris dan Kepala Bidang.  
Pasal 14 
Kelompok jabatan fungsional mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas BPBD sesuai keahlian dan kebutuhan. 
Pasal 15 
(1) Kelompok jabatan fungsional sebagaimana di maksud dalam Pasal 14, terdiri dari sejumlah tenaga dalam jenjang jabatan fungsional yang terbagi dalam berbagai kelompok sesuai dengan bidang keahliannya. 
(2) Kelompok jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), di pimpin oleh seorang tenaga senior yang ditunjuk oleh Gubernur atas usul Kepala Badan dan bertanggungjawab kepada Kepala Badan. 
(3) Jumlah jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditentukan berdasarkan kebutuhan dan beban kerja. 
(4)  Jenis dan jenjang jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.    BAB  V TATA KERJA 
 Pasal 16 BPBD dalam melaksanakan tugasnya wajib menyelenggarakan koordinasi
 
9
dengan instansi yang secara fungsional mempunyai hubungan kerja serta wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi baik dalam lingkungan masing-masing maupun antara satuan organisasi di lingkungan Pemerintah Daerah sesuai dengan tugas pokoknya masing-masing. 
Pasal 17 
(1) Kepala Pelaksana BPBD dalam melaksanakan tugasnya harus berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.  
(2) Kepala Pelaksana BPBD berkewajiban memberikan petunjuk, membina, membimbing dan mengawasi pekerjaan dari unsur-unsur pembantu dan pelaksana yang berada di dalam lingkungan kerjanya. 
Pasal 18 
Sekretaris, Kepala Bidang, Kepala Sub Bagian dan Kepala Seksi dalam lingkungan BPBD wajib mengawasi bawahannya dan apabila terjadi penyimpangan agar mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.  
BAB VI PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN 
Pasal 19 
Kepala Pelaksana, Kepala Bidang, Sekretaris, Kepala Sub Bagian dan Kepala Seksi diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. 
BAB  VII KETENTUAN PENUTUP 
Pasal  20 
Hal - hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini akan ditetapkan lebih lanjut oleh Gubernur sepanjang mengenai pelaksanaannya.  
Pasal  21 
Pada saat berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Keputusan Gubernur Nomor 37 Tahun 2001  tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Nusa Tenggara Timur  dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 
 
10
Pasal  22 
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur.  
                                              Ditetapkan  di   Kupang                               pada  tanggal 16 Maret 2009  
 GUBERNUR  NUSA  TENGGARA  TIMUR, 
TTD 
FRANS LEBU RAYA
                
Diundangkan di Kupang pada tanggal 16 Maret 2009  
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR, 
TTD 
JAMIN HABID   
LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR  TAHUN 2009 NOMOR 003 SERI D NOMOR 001   F:\HANNY\FILE 2009\Perda & pelaksanaannya\2009\Badan Bencana Alam\RANPERDA BENCANA.doc            
 
11
PENJELASAN 
ATAS 
PERATURAN DAERAH  PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 
NOMOR  3  TAHUN 2009 
TENTANG 
ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA  PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR   
I.  UMUM : 
Perubahan paradigma pemerintahan dari “sentralisasi” menuju “desentralisasi” yang ditandai dengan penerapan kebijakan otonomi daerah, membawa nuansa baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai upaya untuk lebih memandirikan daerah dan memberdayakan masyarakat. Perubahan paradigma tersebut sekaligus mencirikan berubahnya volume / beban tugas pemerintah daerah dalam merampung seluruh urusan yang diserahkan yang nantinya akan diwadahi dalam struktur organisasi perangkat daerah. 
Reformasi birokrasi pada jenjang Pemerintah dan Pemerintah Daerah merupakan kebutuhan dalam upaya mewujudkan “kepemerintahan yang baik dan bersih”. Reformasi birokrasi pada jenjang Pemerintahan Daerah diarahkan untuk melakukan penyempurnaan terhadap semua kelemahan/kekurangan yang terjadi pada pelaksanaan kebijakan desentralisasi sebagai ujung tombak dalam mengemban fungsi utama birokrasi yaitu pelayanan publik yang secara langsung menyentuh upaya pemenuhan kepentingan/kebutuhan masyarakat. 
Salah satu aspek penting dan strategis dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah aspek “kelembagaan daerah”. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah.     
 
12
Secara umum perangkat daerah terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan yang diwadahi dalam lembaga Sekretariat; unsur pendukung tugas Kepala Daerah  dalam  penyusunan  dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik diwadahi dalam Lembaga Teknis Daerah, dan unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam Lembaga Dinas Daerah, unsur pengawas yang diwadahi dalam bentuk Inspektorat serta unsur perencana yang diwadahi dalam bentuk Badan.  
Dalam konteks ini, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, yang memberi keleluasaan kepada Pemerintah Daerah dalam menyusun dan menetapkan organisasi perangkat daerahnya dengan merujuk pada beberapa faktor :  a. Urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah ;   b. Karakteristik, potensi dan kebutuhan daerah;  c. Kemampuan keuangan daerah;  d. Ketersediaan sumber daya aparatur; dan  e. Luas wilayah dan jumlah penduduk. 
Badan Penanggulangan Bencana Provinsi merupakan perangkat Daerah Provinsi yang dibentuk dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi untuk melaksanakan penanggulangan bencana. 
Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Nusa Tenggara Timur . 
II. PASAL DEMI PASAL : 
Pasal  1  : Cukup jelas. Pasal  2  : Cukup jelas. Pasal  3  : Cukup jelas. Pasal  4  : Cukup jelas. Pasal  5  : Cukup jelas. Pasal  6  : Cukup jelas. Pasal  7  : Cukup jelas. Pasal  8  : Cukup jelas. Pasal  9 : Cukup jelas. Pasal  10  : Cukup jelas. Pasal  11  : Cukup jelas. Pasal  12  : Cukup jelas. Pasal  13  : Cukup jelas.  
 
13
Pasal  14  : Cukup jelas. Pasal  15 : Cukup jelas. Pasal  16  : Yang dimaksud dengan koordinasi adalah peran serta para pemangku kepentingan dalam menata organisasi perangkat daerah sesuai dengan lingkup kewenangannya, baik lintas sektor maupun antar strata pemerintahan.   Yang dimaksud dengan integrasi adalah penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilaksanakan secara terpadu dalam suatu organisasi perangkat daerah.   Yang dimaksud dengan sinkronisasi adalah konsistensi dalam penataan organisasi perangkat daerah sesuai norma, prinsip, dan standar yang berlaku. 
Pasal  17  : Cukup jelas. Pasal  18  : Cukup jelas. Pasal  19  : Cukup jelas. Pasal  20  : Cukup jelas. Pasal  21 : Cukup jelas. Pasal  22 : Cukup jelas.  
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 0029 

PP No.4 Tahun 2010

FACT SHEET BADAN PEMERIKSA KEUANGAN  
1. Pemeriksaan Kinerja atas Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri pada Semester II Tahun 2010. a. Penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yangsama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilanyang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia, dan perlindungan hukum, sementara pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan lapangan kerja yang sesuai dengan kebutuhan nasional belum mencukupi. b. Ketentuan perundang-undangan yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2004 merupakan landasan hukum untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak di luar negeri. Walaupun enam peraturan pemerintah yang diamanatkan dalam UU Nomor 39 Tahun 2004 belum ada yang diterbitkan, namun kebijakan operasional lebih lanjut telah diatur dengan Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Peraturan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). c. Jumlah TKI yang telah ditempatkan di 46 negara tujuan dalam lima tahun terakhir mencapai angka 3,01 juta yang berasal dari 19 provinsi dan 156kota/kabupaten di Indonesia. Kawasan penempatan yang terbesar adalah kawasan Asia Pasifik dan Timur Tengah. Berbagai pihak terlibat baik lembaga pemerintah maupun swasta dalam proses penempatan TKI sejak dari pra penempatan sampai dengan masa penempatan. Setidaknya ada lima lembaga formal yang terkait dalam penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri yaitu Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), BNP2TKI, Ditjen Imigrasi, Perwakilan RI di luar negeri, dan dinas tenaga kerja provinsi/kabupaten/kota. Penempatan TKI di luar negeri telah memberikan tambahan sumber devisa negara yang besar dengan rata-rata setiap tahunnya mencapai USD 4.37 miliar atau sekitar Rp39,3 triliun. d. Dalam Semester II Tahun 2010, BPK telah menyelesaikan pemeriksaan kinerja atas penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Pemeriksaan dilakukan pada Kemenakertrans, BNP2TKI, Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI), Dinas Tenaga Kerja provinsi/kabupaten/kota, yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat, serta Atase Tenaga Kerja pada Perwakilan RI di Kuala Lumpur, Singapura, Hongkong, Jeddah, Riyadh, dan Kuwait. 46 2. Tujuan Pemeriksaan Pemeriksaan kinerja penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri bertujuan untuk menilai apakah penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri telah efektif dalam aspek perencanaan, pengorganisasian sumber daya, pelaksanaan, dan pengendalian.
3. Kriteria Pemeriksaan Untuk memastikan penilaian kinerja penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri telah sesuai dengan kondisi yang memadai, didasarkan pada kriteria sebagai berikut. a. Pra Penempatan  Rekrutmen yang prosedural dalam memenuhi job order untuk menghasilkan calon TKI yang telah dipersiapkan dan didukung fasilitas yang layak dan memadai pendataan TKI yang menjamin keandalan informasi dan didukung prasarana yang memadai.  Pengujian kesehatan yang menjamin derajat kesehatan calon TKI terpenuhi dan didukung proses yang transparan dan dapat diandalkan.  Pelatihan yang membekali kemampuan calon TKI sesuai dengan kebutuhan dan didukung prasarana yang memadai.  Pengujian yang memastikan kompetensi calon TKI sesuai yang dipersyaratkan dan didukung lembaga yang teruji.  Pembekalan akhir yang memastikan calon TKI memahami hak dan tanggung jawab serta diselenggarakan secara konsisten.  Pengurusan dokumen pemberangkatan calon TKI yang sah, transparan, dan pasti.    
FACT SHEET BADAN PEMERIKSA KEUANGAN 
b. Masa Penempatan • Keberangkatan dan kedatangan TKI di tempat tujuan dimonitor dan telah didukung sistem informasi yang andal. • Monitoring TKI yang proaktif yang menjamin kepastian perlindungan TKI sesuai dengan hak dan kewajibannya. • Penanganan TKI bermasalah secara komprehensif yang memperhatikan aspek perlindungan dan kepastian hak dan kewajiban TKI.
47
c. Purna Penempatan • Pendataan TKI yang menjamin keandalan informasi dan didukung prasarana yang memadai. • Pemulangan TKI yang memastikan keamanan dan kenyamanan TKI dan didukung prasarana yang memadai. • Penanganan TKI bermasalah yang memberikan kepastian dan tindak lanjut perbaikan.
4. Hasil Pemeriksaan a. Hasil pemeriksaan atas kinerja penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri menyimpulkan bahwa penempatan TKI di luar negeri tidak didukung secara penuh dengan kebijakan yang utuh, komprehensif dan transparan untuk melindungi hak-hak dasar TKI, dan kesempatan yang sama bagi setiap pemilik kepentingan. Hal ini juga tidak didukung dengan sistem yang terintegrasi dan alokasi sumber daya yang memadai guna meningkatkan kualitas penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. b. Ketidakjelasan kebijakan dan lemahnya sistem penempatan dan perlindungan TKI memberikan peluang terjadinya penyimpangan sejak proses rekrutmen, pelatihan dan pengujian kesehatan, pengurusan dokumen, proses penempatan di negara tujuan sampai dengan pemulangan TKI ke tanah air. Kompleksitas masalah tersebut mengakibatkan efektivitas penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri tidak tercapai secara optimal. c. Masalah-masalah pokok yang mendorong tidak efektifnya penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Rekrutmen TKI belum didukung proses yang valid dan transparan sehingga tidak ada jaminan kepastian, keadilan, dan perlindungan TKI a. Rekrutmen TKI yang seharusnya dimulai sejak pemetaan kondisi dan dasar hukum ketenagakerjaan negara tujuan penempatan TKI, belum dilaksanakan sepenuhnya untuk menjamin aspek perlindungan dan rasa aman bagi TKI. Kondisi tersebut terbukti dari penyiapan perekrutan dan penempatan TKI yang ternyata sebagian dilakukan untuk negara tujuan penempatan yang tidak memiliki MoU dan perundang-undangan yang menjamin perlindungan tenaga kerja. b. Selain itu, sistem perekrutan calon TKI tidak menjamin bahwa biaya pengurusan dokumen dan syarat-syarat penempatan serta potongan gaji kepada TKI telah dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Masih sering terjadi besarnya potongan gaji TKI lebih tinggi dari komponen biaya penempatan maksimal (cost structure) TKI yang ditetapkan pemerintah. Biaya pengurusan dokumentasi seperti biaya rekomendasi paspor dari disnaker kabupaten/kota, biaya paspor di kantor imigrasi, biaya surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) di kantor kepolisian, biaya pembekalan akhir penempatan (PAP)/Iuran Asosiasi Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) di APJATI, biaya/premi asuransi dan biaya fee Petugas Lapangan (PL) dan agensi rata-rata menjadi beban yang wajib dikeluarkan oleh Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) yang nantinya akan membebankan kepada TKI melalui potongan gaji. Kondisi tersebut mengakibatkan TKI harus menanggung biaya penempatan yang lebih tinggi dari seharusnya, mengalami pemotongan gaji lebih lama, dan memperoleh gaji lebih sedikit. c. Sistem rekrutmen calon TKI juga tidak menjamin bahwa mekanisme perekrutan berjalan sesuai peraturan yang telah ditetapkan. Sebagian besar perekrutan TKI tidak melalui bursa tenaga kerja yang ada pada dinas tenaga kerja kabupaten/kota, tetapi melalui sponsor/petugas lapangan (calo). Selain itu, masih ditemukan juga perekrutan TKI tanpa job order atau menggunakan job order yang telah kedaluwarsa. Beberapa PPTKIS mengirim TKI ke luar negeri melebihi jumlah TKI yang disetujui untuk direkrut dan merekrut calon TKI yang tidak memenuhi syarat. Kondisi-kondisi tersebut menimbulkan potensi TKI bermasalah di kemudian hari.
FACT SHEET BADAN PEMERIKSA KEUANGAN 
d. Banyaknya kondisi-kondisi yang tidak ideal tersebut belum secara optimal dijadikan bagian dari monitoring dan evaluasi pemerintah untuk perbaikan. Sejauh ini evaluasi dan monitoring yang dilakukan pemerintah tidak bisa menjamin kebijakan penyiapan dan pengelolaan perekrutan calon TKI menjadi lebih baik dan efektif. e. Hal-hal tersebut di atas menjadikan proses rekrutmen yang selama ini berjalan belum valid dan transparan sehingga tidak ada jaminan kepastian, keadilan, dan perlindungan bagi TKI.
2. Penyiapan tenaga kerja yang sehat, mampu, dan teruji kurang didukung kebijakan yang tegas, sistem pelatihan dan pemeriksaan kesehatan yang terintegrasi, serta pengawasan yang periodik dan konsisten a. Peraturan tentang rekrutmen calon TKI belum tegas mengatur mekanisme pengendalian operasional sarana kesehatan dan infrastruktur penunjangnya secara efektif. Ini terbukti dengan masih adanya sarana kesehatan yang beroperasi tanpa izin operasional atau dengan izin operasional tetapi telah kedaluwarsa. Standar pengujian kesehatan dan biaya pengujian kesehatan juga tidak baku dan seragam bagi semua sarana kesehatan. Selain itu, tidak semua sarana kesehatan memiliki sistem biometrik yang terhubung dengan Sistem Pelayanan Penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) sebagai alat untuk memvalidasi sertifikat kesehatan calon TKI yang diterbitkan sarana kesehatan. Kebijakan dan prosedur pengawasan sarana kesehatan juga tidak terintegrasi dengan fungsi pengawasan pada Kemenakertrans, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan BNP2TKI. b. Akreditasi Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN) oleh Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja yang ditunjuk melalui keputusan Menakertrans juga dilakukan secara tidak terprogram, terencana, dan terukur untuk memastikan penilaian sarana/prasarana, kompetensi SDM, dan program diklat yang jelas dan baku serta jangka waktu pelatihan yang sesuai ketentuan. Sanksi atas BLKLN yang tidak memenuhi standar pelatihan tidak dilakukan, sehingga masih saja ditemukan kasus-kasus TKI gagal disebabkan tidak adanya pelatihan atau pelatihan yang tidak memenuhi standar oleh BLKLN. Selain itu, Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) tidak melakukan pengawasan secara terprogram, rutin, dan terencana dengan baik terhadap Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) untuk kegiatan uji kompetensi calon TKI setelah dilatih oleh BLKLN. Kapasitas BNSP dalam kecukupan SDM untuk memonitor dan mengevaluasi LSP tidak memadai. Efektivitas LSP sebagai filter tingkat kompetensi calon TKI meragukan dengan banyaknya TKI yang bekerja tanpa pelatihan.
3. Penyiapan tenaga kerja yang legal dan prosedural kurang didukung kebijakan yang tegas, sistem yang terintegrasi, serta penegakan aturan yang tegas dan konsisten a. Dualisme kewenangan antara Kemenakertrans dengan BNP2TKI dan dinas tenaga kerja dengan BP3TKI dalam penerbitan dokumen keberangkatan TKI yang belum dituntaskan secara kelembagaan menambah kerumitan pengurusan dokumen keberangkatan TKI yang sah, transparan, dan pasti. b. Mekanisme penerbitan rekomendasi paspor dan rekomendasi bebas fiskal oleh instansi yang berbeda-beda antar daerah pengirim TKI (khususnya antara Provinsi DKI Jakarta dengan provinsi lainnya) semakin tidak terkendali. Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PTKLN) pada Ditjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (PPTK) yang harusnya berkewajiban membakukan prosedur penerbitan rekomendasi paspor dan rekomendasi bebas fiskal, yang sampai saat ini belum ada, turut bersaing menerbitkan rekomendasi paspor dan rekomendasi bebas fiskal dengan BP3TKI Jakarta. Rekomendasi paspor dan rekomendasi bebas fiskal yang seharusnya berfungsi juga untuk pengendalian keabsahan calon TKI menjadi sulit dilakukan karena sistem yang digunakan oleh Direktorat PTKLN bersifat manual. c. Kewenangan pembuatan paspor TKI untuk penempatan TKI Timur Tengah dimonopoli oleh Kantor Imigrasi Unit Khusus Tangerang, Banten. Sedangkan pembuatan paspor TKI untuk penempatan TKI Asia Pasifik dapat diproses pada kantor imigrasi manapun. Perbedaan perlakuan pembuatan paspor ini menyebabkan pengerahan sumber daya PPTKIS yang tidak efisien. Kondisi pengurusan dokumen yang tidak equal treatment ini tidak dibenahi oleh pemerintah sampai saat ini. d. Fungsi dan kegunaan KTKLN, sesuai amanat UU Nomor 39 Tahun 2004 Pasal 51 wajib dimiliki setiap calon TKI untuk dapat ditempatkan di luar negeri, menjadi mubazir. Dualisme penggunaan KTKLN yang dikeluarkan oleh BNP2TKI dan Asosiasi PPTKIS (atas rekomendasi Kemenakertrans)
FACT SHEET BADAN PEMERIKSA KEUANGAN 
yang tidak kunjung selesai dan tidak tersedianya perangkat pendukung KTKLN (card reader) yang memadai mengurangi fungsi KTKLN sebagai kartu identitas TKI yang sah dan wajib dimiliki TKI sebelum berangkat ke luar negeri. KTKLN yang dibuat secara manual di samping menambah ongkos TKI juga bersifat formalitas karena fungsi dan kegunaannya tidak sesuai sebagai penyimpan data yang dapat difungsikan dengan alat pembaca KTKLN. e. Dualisme penyelenggaraan PAP oleh Kemenakertrans/Asosiasi PPTKIS dan menjadikan kegiatan PAP tidak terarah dan terprogram. Pelaksanaan PAP oleh BP3TKI yang dibiayai dari APBN, sedangkan pelaksanaan PAP oleh Sub Direktorat PPTKLN/Asosiasi PPTKIS dibiayai TKI, serta banyaknya TKI yang tidak diikutkan PAP oleh PPTKIS-nya, tetapi mendapat rekomendasi bebas fiskal oleh Sub Direktorat PPTKLN maupun BP3TKI, mencerminkan pengelolaan PAP tidak akuntabel dan transparan. f. Selain itu, Kemenakertrans tidak menyelenggarakan penatausahaan penerimaan dan penyetoran Dana Pembinaan dan Penyelenggaraan Penempatan TKI (DP3TKI) ke kas negara secara transparan. Ketidaksinkronan jumlah penerimaan DP3TKI dengan jumlah TKI yang diberangkatkan sudah berlangsung lama. Bahkan dengan munculnya isu mengenai siapa yang berhak mengelola DP3TKI, apakah tetap Kemenakertrans atau BNP2TKI, menyebabkan Kemenakertrans tidak tertarik untuk memperbaiki penatausahaan DP3TKI itu.
4. Penyelenggaraan asuransi TKI belum memberikan perlindungan secara adil, pasti, dan transparan a. Amanat UU Nomor 39 Tahun 2004 Pasal 68 mewajibkan PPTKIS mengikutsertakan TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri dalam program asuransi. Program itu belum dikelola dengan baik oleh Kemenakertrans. Penunjukan sembilan konsorsium asuransi melalui keputusan Menakertrans pada Tahun 2006 sampai dengan 2009 yang melibatkan 48 perusahaan asuransi dan delapan broker asuransi, yang jenis dan biaya pertanggungannya sudah ditetapkan, menciptakan persaingan tidak sehat. Konsorsium asuransi tidak berlomba-lomba memperbaiki kinerja jaringan dan pelayanan, melainkan berlomba-lomba memberikan diskon premi dan tawar-menawar harga premi kepada PPTKIS. Konsorsium asuransi tidak terbuka melaporkan produksi polis dan klaim baik kepada Kemenakertrans maupun terbuka untuk umum melalui website. Website konsorsium asuransi yang seharusnya dapat diakses secara terbuka seringkali terkendala secara teknis. Data produksi dan progress klaim TKI sangat sulit diakses, bahkan terdapat konsorsium asuransi yang dengan sengaja menyembunyikan data produksi dan klaimnya. b. Dilema asuransi juga diperparah dengan adanya unsur kesengajaan PPTKIS yang tidak mengikutkan TKI-nya dalam program asuransi, khususnya asuransi pra penempatan. Bagi PPTKIS semakin sedikit biaya premi yang dibayarkan semakin baik, walaupun biaya premi tersebut akhirnya ditagihkan secara penuh kepada TKI melalui mekanisme pemotongan gaji. Kewajiban konsorsium dalam menyelesaikan klaim sering terlambat dan tidak jelas statusnya. Banyaknya klaim asuransi TKI yang tidak cair sering menimbulkan pertanyaan apakah proses klaimnya disetujui tetapi lambat atau klaimnya ditolak. Tidak ada kejelasan mengenai proses klaim dari konsorsium baik kepada Kemenakertrans, TKI yang bersangkutan atau pihak-pihak yang mewakili TKI. c. Demikian juga kewajiban konsorsium asuransi dalam menangani kasus-kasus TKI di luar negeri sering kali tidak jelas statusnya. Perwakilan konsorsium asuransi pada negara penempatan sering tidak ada atau ada tapi tidak diketahui Perwakilan RI. Jenis pertanggungan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, pelecehan seksual, kecelakaan kerja yang berakhir pada pemberhentian TKI oleh majikan sulit diklaim kepada asuransi TKI, sehingga sering menimbulkan dilema pembiayaan pemulangan bagi Perwakilan RI. Pendampingan TKI yang bermasalah hukum di negara penempatan diwakili oleh lawyer yang ditunjuk oleh Perwakilan RI. Namun saat tagihan biaya lawyer kepada konsorsium asuransi tiba, konsorsium asuransi sering tidak menyelesaikan segera. Konsorsium asuransi memberikan berbagai alasaan teknis maupun administrasi bila konsorsium asuransi dikonfirmasi terkait status tersebut.
5. Data penempatan TKI tidak akurat, sehingga tidak membantu upaya perlindungan TKI di luar negeri a. Keberadaan sistem informasi TKI pada Perwakilan RI di luar negeri sangat diperlukan dalam upaya perlindungan TKI. Sistem tersebut memerlukan data base TKI yang mutakhir setiap waktu. Pemerintah telah menetapkan kebijakan pemenuhan kebutuhan data TKI tersebut melalui mekanisme lapor diri TKI atau melalui PPTKIS pengirim, seperti diamanatkan dalam UU Nomor 39
FACT SHEET BADAN PEMERIKSA KEUANGAN 
Tahun 2004. Namun ketaatan PPTKIS untuk melaporkan setiap pengiriman TKI kepada Perwakilan RI sangat rendah, sehingga data TKI pada Perwakilan RI tidak mutakhir. Perwakilan RI di luar negeri belum secara optimal melakukan setiap prosedur untuk memastikan kebijakan pendataan TKI melalui mekanisme lapor diri terpenuhi. b. Kegiatan welcoming program dan exit program oleh Perwakilan RI di Hongkong sepertinya hanya formalitas jauh dari tujuan yang diharapkan. Perwakilan RI di Singapura, Malaysia, dan Kuwait sia- sia melakukan pendekatan melalui data entry testworking permit pada website atau mengirim permintaan tertulis kepada ministry of manpower atau imigrasi, walaupun mengetahui data working permit tersebut hanya berbentuk kisaran jumlah TKI. Sedangkan Perwakilan RI di Saudi Arabia tidak melakukan upaya pendekatan apapun selain mengandalkan data TKI berdasarkan data perjanjian kerja (PK), walaupun hanya berisi data majikan saja. Kondisi tersebut terjadi di tengah kewenangan yang begitu besar yang dimiliki Perwakilan RI di luar negeri untuk menyetujui boleh atau tidaknya penempatan TKI yang diminta majikan, agensi, dan PPTKIS.
52
6. Penanganan dan Penyelesaian TKI bermasalah di luar negeri bersifat parsial a. Berbagai usaha untuk menyelesaikan kasus TKI bermasalah telah dilakukan Perwakilan RI di luar negeri. Namun penanganan kasus TKI oleh Perwakilan RI selama ini hanya fokus pada masalah yang dihadapi TKI secara parsial, bukan pada penyelesaian kasus secara komprehensif pada akar permasalahan. Evaluasi atas kondisi sebab akibat kasus TKI belum dilakukan Perwakilan RI untuk menemukan akar permasalahan secara jelas. Permasalahan gaji tidak dibayar, PHK sepihak, TKI overstayers, dan masalah ketenagakerjaan lainnya akan selalu timbul jika penanganan kasus dilakukan secara parsial. Perwakilan RI di Malaysia, Hongkong, Saudi Arabia, dan Kuwait akan selalu menghadapi kasus serupa berulang-ulang tanpa penyelesaian kasus secara komprehensif yang seharusnya melibatkan pihak-pihak terkait mulai PPTKIS, agensi, majikan, pemerintah Indonesia, dan pemerintah negara penempatan. Pemerintah seharusnya segera mengambil peranan koordinasi tersebut dengan lebih baik lagi.
7. Evaluasi yang berkelanjutan terhadap data dan informasi masalah TKI tidak ditangani secara tuntas dan komprehensif a. Pemerintah dhi. Kemenakertrans dan BNP2TKI telah menetapkan regulasi yang mengatur proses pendataan kedatangan, pengaturan transportasi, dan penanganan TKI bermasalah. Regulasi tersebut seharusnya dapat menjamin TKI dapat sampai daerah asalnya dengan cepat, mudah, murah, dan selamat. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa koordinasi pendataan kedatangan TKI secara terpadu antara BNP2TKI dengan pengelola bandara dan imigrasi tidak optimal. b. Tidak ada mekanisme yang baku untuk memastikan bahwa penumpang pesawat yang mendarat di bandara internasional adalah TKI, sehingga ada kemungkinan penumpang yang bukan TKI didata sebagai TKI, demikian juga sebaliknya. Proses penetapan operator armada transportasi tidak melalui evaluasi teknis, kinerja dan kelayakan operator/armadanya secara baku dan transparan, sehingga banyak operator angkutan pemulangan TKI ke daerah asal tidak bisa memenuhi jumlah kuota armada yang telah ditentukan. Penempatan staf BP3TKI sebagai petugas kontrol Surat Perintah Jalan di rumah singgah tidak dilakukan. Pengecekan kelaikan armada dan pengemudi tidak dilakukan karena tidak ada pegawai BNP2TKI yang kompeten dalam bidang teknis mesin kendaraan angkutan TKI. Pengecekan hanya dilakukan sebatas Surat Perintah Jalan, administrasi kendaraan, dan pengemudi. Pemberian sanksi kepada operator yang melakukan pelanggaran tidak konsisten yang terlihat dari sanksi yang berbeda-beda tiap operator. c. Pengurusan pengajuan klaim asuransi TKI bermasalah yang dibantu oleh BNP2TKI melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) memunculkan pertanyaan mengenai beban pembiayaan LBH yang berasal dari APBN untuk jasa pengurusan klaim asuransi TKI, selain juga mengenai mekanisme penunjukan dan pertanggungjawaban penanganan klaim oleh LBH yang tidak jelas. Tidak ada laporan pertanggungjawaban penanganan klaim oleh LBH kepada BNP2TKI sebagai pemberi tugas. Mekanisme penyerahan klaim kepada TKI juga tidak jelas.     
FACT SHEET BADAN PEMERIKSA KEUANGAN 
5. Rekomendasi Terhadap permasalahan tersebut, BPK telah merekomendasikan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kepala BNP2TKI baik bersamasama maupun sendiri-sendiri sesuai dengan kewenangan masing-masing untuk segera : a. melakukan evaluasi menyeluruh peraturan perundangan, kebijakan, sistem, dan mekanisme penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri; b. melaksanakan moratorium (penghentian pengiriman sementara) TKI informal ke negara yang belum memiliki peraturan yang melindungi TKI dan/atau perjanjian tertulis (MoU) dengan Pemerintah RI; c. mengkaji dan menetapkan kembali biaya penempatan TKI yang proporsional dan riil; d. menetapkan dan melaksanakan standar baku penyiapan, pengelolaan, dan monitoring/evaluasi perekrutan TKI; e. menetapkan standardisasi perizinan lembaga pengujian kesehatan calon TKI untuk menjamin validitas sertifikasi kesehatan calon TKI; f. menetapkan mekanisme monitoring dan evaluasi fungsi BLKLN secara jelas, terprogram, dan terarah; g. memastikan kapasitas BNSP agar dapat melaksanakan fungsi pengawasan atas kegiatan LSP secara terprogram dan terarah; h. menetapkan batas kewenangan Kemenakertrans, BNP2TKI, dan dinas tenaga kerja secara jelas dan terkoordinasi dengan baik dalam semua lini pengurusan dokumen keberangkatan TKI; i. menetapkan dan menegakkan regulasi pengelolaan asuransi yang jelas dan berpihak pada TKI; j. menyelenggarakan sistem informasi TKI terpadu yang andal dan dapat diakses Perwakilan RI di luar negeri; k. menetapkan program pembinaan/monitoring pada Atase Tenaga Kerja yang terarah serta penyediaan prasarana, SDM, dan dana yang cukup dan cepat dalam upaya perlindungan dan pembinaan TKI; l. memperbaiki regulasi penempatan TKI yang lebih menekankan pendekatan perlindungan TKI khususnya regulasi pra penempatan dan menetapkan mekanisme penanganan kasus TKI pada Perwakilan RI di luar negeri yang terstruktur secara efektif; m. mengevaluasi secara menyeluruh mekanisme pendataan, mekanisme pemulangan, dan mekanisme penanganan kasus dan pengajuan klaim asuransi TKI pada bandara-bandara internasional tempat kedatangan TKI; dan n. mengenakan sanksi secara tegas dan konsisten kepada PPTKI, BLKLN, Lembaga Pengujian Kesehatan calon TKI, LSP, dan perusahaan/konsorsium asuransi TKI serta pihak lain yang terkait, yang melanggar ketentuan dan/atau standar yang telah ditetapkan dalam pelayanan kepada TKI.